a. Bagaimana cara memilih Pasangan
1. Saling Jujur dan Setia
Memilih pasangan yang tidak suka berkata-kata bohong,
selalu menepati janji dan menjaga amanah. Apabila berjanji selalu ditepati.
Karena seseorang yang suka berbohong akan mempengaruhi hubungan keluarganya dan
akan berimbas kepada anak turunnya. Maka dari itu kita harus senantiasa
memperbaiki diri agar jujur dalam berbicara dan setia menaungi keluarga.
2. Dalam segi penampilan
Dari segi penampilan seeorang bisa kita ketahui baik
buruknya orang tersebut. Peribahasa jawa mengatakan : “Ajine Rogo Soko Busono” yang
artinya Sifat atau perilaku seseorang bisa dilihat dari penamilannnya. Menarik
bukan berarti yang cantik paras mukannya tetapi juga baik hatinya. dan yang
bisa menyejukkan hati keluarganya. Dan kita juga harus menjaga penampilan kita
saat sudah menikah agar dia selalu dekat dengan kita.
3. Taat Beribadah
Paling penting dlam memilih jodoh adalah mencari agamanya
yang baik. seseorang yang agamanya baik selalu akan menghasilkan perilaku yang
baik juga, hal ini yang menyangkut dengan masa depan keluarga anda. Karena
anak-anak akan banyak dibimbing oleh seeorang ibu. Jika ibunya berperilaku baik
maka keturunan atau anaknya akan sebagian besar berperilaku seperti iibunya.
4. Pandai atau Pintar
Seseorang yang Cerdas dan Pintar akan selalu memberikan
suasana yang positif. Dan senantiasa akan menghasilkan bibit-bibit yang
berkualitas. Jangan mencari jodoh yang memiliki intelegensia di bawah
rata-rata.Dalam hal ini tidak hanya pintar tentang suatu ilmu tertentu
melainkan mengerti bagaimana mengatur kondisi ekonomi, pengeluaran rumah tangga
dan mengatasi masalah -masalha yang ada di rumah tangga. Seseorang yang pintar
akan mudah mendapat pekerjaan akan kemampuan yang dimilikinya, misalnya Lulusan
Sarjana bisa mencari pekerjaan yang lebih mudah dan ringan dari pada yang hanya
sederajat SMA.
5. Tidak Materialistis
Hati-hati dalam memilih pasangan yang memandang seseorang
dengan kekayaan, bukan kita mencintainya karena kekayaannya tetapi kita bisa
lebih memperhatikan akhlaknya. Bisa jadi seandainnya harta kekayaan yang kita
punya tiada maka otomatis kita akan ditinggalkan begitu saja. Harus jeli dan
teliti agar kehidupan keluarga bisa tenang dan damai.
6. Tidak Mudah Emosi
Jika pasangan anda gampang sekali marah meledak-ledak dan
tidak bisa diubah sebaikny tinggalka saja. Hidup dimarahi pasanan terus-menerus
akan membuat anda menderita. Pasangan yang baik adalah yang bisa menhibur
dikala suka maupun duka dalam berbagai kondisi baik.
7. Persetujuan Orang Tua, Keluarga, Teman dan Sebagainya
Hubungan suami istri harus selalu didukung oleh orang-orang
yang ada disekitarnya dimulai dari orang tua, mertua, teman, kerabat, dan
lain-lain. Pernikahan yang emosional tanpa didukun orag tedekat dapat berdampak
buruk bagi hubungan di masa mendatang.
b.Seluk Beluk hubungan dalam
Perkawinan
Inilah puncak dari segalanya, setelah melewati masa
pacaran dengan baik. Dengan saling mengikarkan janji suci untuk sehidup semati
baik dalam sehat maupun dalam sakit, dalam keadaan kaya atau miskin dan hanya
maut yang bisa memisahkan mereka. Sehingga ikrar suci pernikahan itu, mereka
bukan lagi dua tetapi telah menjadi satu. Tahap ini memulainya
sebuah babak baru, relasi yang ditandai dengan munculnya komitmen tanpa syarat
untuk saling mencintai dan memiliki.
Kalau tahap perkenalan merupakan sebuah pintu gerbang
menuju ke tingkat pacaran, maka tahap pernikahan merupakan puncak dari tingkat
hubungan paling akrab dan mulia yang dilakukan.
c. Penyesuaian dan Pertumbuhan
dalam Perkawinan
Hirning dan Hirning (1956)
mengatakan bahwa penyesuaian perkawinan itu lebih kompleks dibandingkan yang
terlihat. Dua orang memasuki perkawinan harus menyesuaikan satu sama lain
dengan tingkatan yang berbeda-beda. Untuk tingkat organismik mereka harus
menyesuaikan diri dengan sensori, motor, emosional dan kapasitas intelektual
dan kebutuhan. Untuk tingkat kepribadian, masing-masing mereka harus
menyesuaikan diri dengan kebiasaan, keterampilan, sikap, ketertarikan,
nilai-nilai, sifat, konsep ego, dan kepercayaan. Pasangan juga harus
menyesuaikan dengan lingkungan mereka, termasuk rumah tangga yang baru,
anak-anak, sanak keluarga, teman, dan pekerjaan.
Duvall dan Miller (1985) mengatakan
bahwa penyesuaian perkawinan itu adalah proses membiasakan diri pada kondisi
baru dan berbeda sebagai hubungan suami istri dengan harapan bahwa mereka akan
menerima tanggung jawab dan memainkan peran sebagai suami istri. Penyesuaian
perkawinan ini juga dianggap sebagai persoalan utama dalam hubungan sebagai
suami istri.
Dari uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa penyesuaian perkawinan adalah dua orang memasuki tahap perkawinan
dan mulai membiasakan diri dengan situasi baru sebagai suami istri yang saling
menyesuaikan dengan kepribadian, lingkungan, kehidupan keluarga, dan saling
mengakomodasikan kebutuhan, keinginan dan harapan.
d. Perceraian dan Pernikahan
kembali
Perceraian
merupakan terputusnya hubungan antara suami istri, yang dalam hal ini adalah
cerai hidup yang disebabkan oleh kegagalan suami atau istri dalam menjalankan
obligasi peran masing-masing. Dimana perceraian dipahami sebagai akhir dari
ketidakstabilan perkawinan antara suami istri yang selanjutnya hidup secara
terpisah dan diakui secara sah berdasarkan hukum yang berlaku.
Hubungan
suami-istri juga dapat dilihat dan dibedakan berdasarkan pola perkawinan yang
ada dalam masyarakat. Scanzoni dan Scanzoni (1981) mengkatagorikannya ke dalam
empat bentuk pola perkawinan yaitu owner property, head complement, senior
junior partner dan equal partner. Kestabilan keluarga tampak lebih kondusif
berlangsung dalam pola perkawinan kedua dan ke tiga dimana posisi istri mulai
berkembang menjadi pelengkap suami dan teman yang saling membantu dalam
mengatur kehidupan bersama. Sementara itu hal sebaliknya dapat terjadi pada
pola perkawinan equal partner.
Pengakuan
hak persamaan kedudukan dengan pria menyebabkan semakin tidak tergantungnya
istri pada suami. Istri mendapat dukungan dan pengakuan dari orang lain karena
kemampuannya sendiri dan tidak dikaitkan dengan suami. Di antara ke empat pola
ini menjelaskan tingkat perceraian cenderung lebih tinggi pada pola perkawinan
owner properti. Oleh karena pola perkawinan owner property berasumsi bahwa
istri adalah milik suami, seperti halnya barang-barang berharga lainnya di
dalam keluarga itu yang merupakan miliki dan tanggung jawab suami. Istri sangat
tergantung secara sosial ekonomi kepada suami. Akibat dari pola perkawinan
seperti ini suami berhak menceraikan istrinya apabila tidak merasakan mendapat
kepuasaan yang diinginkan ataupun tidak menyukai istrinya lagi.
e.
Single Life
Banyak faktor orang-orang memilih
untuk hidup sendiri tanpa pasangan. seperti, terlalu sibuk bekerja, trauma
tersakiti dan tidak mau merubah diri menjadi lebih menarik. bahkan beberapa
orang sangat nyaman dan terbiasa dengan kesendiriannya. namun layaknya manusia
biasa, pasti pernah merasakan kesepian. namun, bagi orang-orang yang hidup
tanpa pasangan tentu akan kesulitan untuk melimpahkan rasa sepi yang mendera.
Sebagian orang memilih hanya berdiam diri. Tapi
tahukah anda, kondisi kesepian seperti ini dapat menyebabkan gangguan
kesehatan? bahkan bisa menganggu sistem kekebalan tubuh anda.
Saat anda merasa kesepian terdapat
adanya sinyal peradangan yang terkait dengan penyakit jantungkoroner, diabetes
tipe 2, arthritis penyakit alzheimer, serta penurunan kelemahan dan fungsional
yang dapat menyertai penuaaan.
Apakah mereka tidak merasa kesepian?
Profesor Klinenberg melihat ada
garis pembeda antara hidup melajang dan rasa kesepian. Tidak selamanya orang
lajang merasa kesepian. Riset beliau menunjukkan para singletons (sebutan
untuk kaum lajang) justru memiliki kehidupan sosial yang aktif, memiliki banyak
teman, apalagi dengan adanya media sosial seperti Facebook yang memungkinkan
seorang lajang memiliki ribuan teman dari seluruh penjuru dunia. Bukan jamannya
lagi kaum lajang merasa kesepian seperti di tahun 50-an.
Klinenberg juga melihat indikasi
bahwa singletons justru memiliki kebebasan untuk melakukan
apa yang mereka mau, kapan saja, tanpa harus mengorbankan nilai-nilai pribadi.
Hal ini bertolak belakang dengan orang yang sudah menikah dimana mereka
kadang-kadang harus mengorbankan kebebasan dan juga keyakinan pribadi demi
berkompromi dengan pasangan.
Menikah memerlukan pengorbanan.
Pria dan wanita adalah dua insan berbeda. Menyatukan keduanya tentu tidak
mudah. Apalagi jika keduanya memiliki nilai-nilai serta prinsip pribadi yang
berbeda. Tanpa keterampilan diplomasi yang handal dan kesabaran super,
pernikahan tidak akan bertahan lama. Generasi masa kini yang cenderung sangat
egois dan self-centered menghadapi kesulitan dalam
pernikahan jauh lebih tinggi dibanding generasi masa lalu yang lebih sabar dan
mudah berkompromi. Tak heran kawin-cerai menjadi trend masa kini.
Sumber :