Jumat, 24 Mei 2013

Tulisan 3 Cinta dan Perkawinan


a. Bagaimana cara memilih Pasangan

1. Saling Jujur dan Setia
Memilih pasangan yang tidak suka berkata-kata bohong, selalu menepati janji dan menjaga amanah. Apabila berjanji selalu ditepati. Karena seseorang yang suka berbohong akan mempengaruhi hubungan keluarganya dan akan berimbas kepada anak turunnya. Maka dari itu kita harus senantiasa memperbaiki diri agar jujur dalam berbicara dan setia menaungi keluarga.
2. Dalam segi penampilan
Dari segi penampilan seeorang bisa kita ketahui baik buruknya orang tersebut. Peribahasa jawa mengatakan : “Ajine Rogo Soko Busono” yang artinya Sifat atau perilaku seseorang bisa dilihat dari penamilannnya. Menarik bukan berarti yang cantik paras mukannya tetapi juga baik hatinya. dan yang bisa menyejukkan hati keluarganya. Dan kita juga harus menjaga penampilan kita saat sudah menikah agar dia selalu dekat dengan kita.
3. Taat Beribadah
Paling penting dlam memilih jodoh adalah mencari agamanya yang baik. seseorang yang agamanya baik selalu akan menghasilkan perilaku yang baik juga, hal ini yang menyangkut dengan masa depan keluarga anda. Karena anak-anak akan banyak dibimbing oleh seeorang ibu. Jika ibunya berperilaku baik maka keturunan atau anaknya akan sebagian besar berperilaku seperti iibunya.
4. Pandai atau Pintar
Seseorang yang Cerdas dan Pintar akan selalu memberikan suasana yang positif. Dan senantiasa akan menghasilkan bibit-bibit yang berkualitas. Jangan mencari jodoh yang memiliki intelegensia di bawah rata-rata.Dalam hal ini tidak hanya pintar tentang suatu ilmu tertentu melainkan mengerti bagaimana mengatur kondisi ekonomi, pengeluaran rumah tangga dan mengatasi masalah -masalha yang ada di rumah tangga. Seseorang yang pintar akan mudah mendapat pekerjaan akan kemampuan yang dimilikinya, misalnya Lulusan Sarjana bisa mencari pekerjaan yang lebih mudah dan ringan dari pada yang hanya sederajat SMA.
5. Tidak Materialistis
Hati-hati dalam memilih pasangan yang memandang seseorang dengan kekayaan, bukan kita mencintainya karena kekayaannya tetapi kita bisa lebih memperhatikan akhlaknya. Bisa jadi seandainnya harta kekayaan yang kita punya tiada maka otomatis kita akan ditinggalkan begitu saja. Harus jeli dan teliti agar kehidupan keluarga bisa tenang dan damai.
6. Tidak Mudah Emosi
Jika pasangan anda gampang sekali marah meledak-ledak dan tidak bisa diubah sebaikny tinggalka saja. Hidup dimarahi pasanan terus-menerus akan membuat anda menderita. Pasangan yang baik adalah yang bisa menhibur dikala suka maupun duka dalam berbagai kondisi baik.
7. Persetujuan Orang Tua, Keluarga, Teman dan Sebagainya
Hubungan suami istri harus selalu didukung oleh orang-orang yang ada disekitarnya dimulai dari orang tua, mertua, teman, kerabat, dan lain-lain. Pernikahan yang emosional tanpa didukun orag tedekat dapat berdampak buruk bagi hubungan di masa mendatang.



b.Seluk Beluk hubungan dalam Perkawinan

Inilah puncak dari segalanya, setelah melewati  masa pacaran dengan baik. Dengan saling mengikarkan janji suci untuk sehidup semati baik dalam sehat maupun dalam sakit, dalam keadaan kaya atau miskin dan hanya maut yang bisa memisahkan mereka. Sehingga ikrar suci pernikahan itu, mereka bukan lagi dua tetapi telah menjadi satu. Tahap ini memulainya sebuah babak baru, relasi yang ditandai dengan munculnya komitmen tanpa syarat untuk saling mencintai dan memiliki.
Kalau tahap perkenalan merupakan sebuah pintu gerbang menuju ke tingkat pacaran, maka tahap pernikahan merupakan puncak dari tingkat hubungan paling akrab dan mulia yang dilakukan.



c. Penyesuaian dan Pertumbuhan dalam Perkawinan

Hirning dan Hirning (1956) mengatakan bahwa penyesuaian perkawinan itu lebih kompleks dibandingkan yang terlihat. Dua orang memasuki perkawinan harus menyesuaikan satu sama lain dengan tingkatan yang berbeda-beda. Untuk tingkat organismik mereka harus menyesuaikan diri dengan sensori, motor, emosional dan kapasitas intelektual dan kebutuhan. Untuk tingkat kepribadian, masing-masing mereka harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan, keterampilan, sikap, ketertarikan, nilai-nilai, sifat, konsep ego, dan kepercayaan. Pasangan juga harus menyesuaikan dengan lingkungan mereka, termasuk rumah tangga yang baru, anak-anak, sanak keluarga, teman, dan pekerjaan.
Duvall dan Miller (1985) mengatakan bahwa penyesuaian perkawinan itu adalah proses membiasakan diri pada kondisi baru dan berbeda sebagai hubungan suami istri dengan harapan bahwa mereka akan menerima tanggung jawab dan memainkan peran sebagai suami istri. Penyesuaian perkawinan ini juga dianggap sebagai persoalan utama dalam hubungan sebagai suami istri.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian perkawinan adalah dua orang memasuki tahap perkawinan dan mulai membiasakan diri dengan situasi baru sebagai suami istri yang saling menyesuaikan dengan kepribadian, lingkungan, kehidupan keluarga, dan saling mengakomodasikan kebutuhan, keinginan dan harapan.

d. Perceraian dan Pernikahan kembali

Perceraian merupakan terputusnya hubungan antara suami istri, yang dalam hal ini adalah cerai hidup yang disebabkan oleh kegagalan suami atau istri dalam menjalankan obligasi peran masing-masing. Dimana perceraian dipahami sebagai akhir dari ketidakstabilan perkawinan antara suami istri yang selanjutnya hidup secara terpisah dan diakui secara sah berdasarkan hukum yang berlaku.
Hubungan suami-istri juga dapat dilihat dan dibedakan berdasarkan pola perkawinan yang ada dalam masyarakat. Scanzoni dan Scanzoni (1981) mengkatagorikannya ke dalam empat bentuk pola perkawinan yaitu owner property, head complement, senior junior partner dan equal partner. Kestabilan keluarga tampak lebih kondusif berlangsung dalam pola perkawinan kedua dan ke tiga dimana posisi istri mulai berkembang menjadi pelengkap suami dan teman yang saling membantu dalam mengatur kehidupan bersama. Sementara itu hal sebaliknya dapat terjadi pada pola perkawinan equal partner.
Pengakuan hak persamaan kedudukan dengan pria menyebabkan semakin tidak tergantungnya istri pada suami. Istri mendapat dukungan dan pengakuan dari orang lain karena kemampuannya sendiri dan tidak dikaitkan dengan suami. Di antara ke empat pola ini menjelaskan tingkat perceraian cenderung lebih tinggi pada pola perkawinan owner properti. Oleh karena pola perkawinan owner property berasumsi bahwa istri adalah milik suami, seperti halnya barang-barang berharga lainnya di dalam keluarga itu yang merupakan miliki dan tanggung jawab suami. Istri sangat tergantung secara sosial ekonomi kepada suami. Akibat dari pola perkawinan seperti ini suami berhak menceraikan istrinya apabila tidak merasakan mendapat kepuasaan yang diinginkan ataupun tidak menyukai istrinya lagi.

e. Single Life

Banyak faktor orang-orang memilih untuk hidup sendiri tanpa pasangan. seperti, terlalu sibuk bekerja, trauma tersakiti dan tidak mau merubah diri menjadi lebih menarik. bahkan beberapa orang sangat nyaman dan terbiasa dengan kesendiriannya. namun layaknya manusia biasa, pasti pernah merasakan kesepian. namun, bagi orang-orang yang hidup tanpa pasangan tentu akan kesulitan untuk melimpahkan rasa sepi yang mendera. Sebagian orang memilih hanya berdiam diri. Tapi tahukah anda, kondisi kesepian seperti ini dapat menyebabkan gangguan kesehatan? bahkan bisa menganggu sistem kekebalan tubuh anda.
Saat anda merasa kesepian terdapat adanya sinyal peradangan yang terkait dengan penyakit jantungkoroner, diabetes tipe 2, arthritis penyakit alzheimer, serta penurunan kelemahan dan fungsional yang dapat menyertai penuaaan.

Apakah mereka tidak merasa kesepian?

Profesor Klinenberg melihat ada garis pembeda antara hidup melajang dan rasa kesepian. Tidak selamanya orang lajang merasa kesepian. Riset beliau menunjukkan para singletons (sebutan untuk kaum lajang) justru memiliki kehidupan sosial yang aktif, memiliki banyak teman, apalagi dengan adanya media sosial seperti Facebook yang memungkinkan seorang lajang memiliki ribuan teman dari seluruh penjuru dunia. Bukan jamannya lagi kaum lajang merasa kesepian seperti di tahun 50-an.
Klinenberg juga melihat indikasi bahwa singletons justru memiliki kebebasan untuk melakukan apa yang mereka mau, kapan saja, tanpa harus mengorbankan nilai-nilai pribadi. Hal ini bertolak belakang dengan orang yang sudah menikah dimana mereka kadang-kadang harus mengorbankan kebebasan dan juga keyakinan pribadi demi berkompromi dengan pasangan.
Menikah memerlukan pengorbanan. Pria dan wanita adalah dua insan berbeda. Menyatukan keduanya tentu tidak mudah. Apalagi jika keduanya memiliki nilai-nilai serta prinsip pribadi yang berbeda. Tanpa keterampilan diplomasi yang handal dan kesabaran super, pernikahan tidak akan bertahan lama. Generasi masa kini yang cenderung sangat egois dan self-centered menghadapi kesulitan dalam pernikahan jauh lebih tinggi dibanding generasi masa lalu yang lebih sabar dan mudah berkompromi. Tak heran kawin-cerai menjadi trend masa kini.

Sumber :